July 2017

Tiga Anak Puisi di Malam Hari


Jeng, Ah! 

Resah dan desah
Mengadu sudah
Beratap bulan basah
Ditemani kota yang pongah

Jeng ah

Sudah merasa bengah?
Tahu nona mati terperangah?

Jeng ah
Nona jangan lengah
Mengingat lekuk peluk yang bikin semringah.


Minggu Malam

Minggu malam sebelum jam bekerja
Ada aku yang menjabat tangan kerabat
Membawa luka dengan tergesa-gesa

Menyirami jarum jam dengan kata-kata
Mendapati dirinya angin di kutub utara

Minggu malam sebelum jam bekerja                                             
Ada kita yang tak tahu benar, hangat itu sejenis apa
Aku berkarat dan tiada
Selamat mencari dan kembali menemukannya.


Salah Sangka

Lebih kurang
Jatuh cinta

Lebih jatuh
Lebih cinta

Kurang cinta
Kurang jatuh

Cinta jatuh

Kurang lebih? 

; dan 

Canda Tawa di Ruang Terbuka








Tak perlu menghabiskan banyak uang untuk berbahagia, jika kamu bisa merayakan apa pun dengan hati ceria. Siapa yang mampu menghalangi kita untuk bahagia? Kita lah pemilik kebahagiaan itu, pemilik diri kita sendiri.

Sayangnya, kita pun pemelik kesedihan, yang seringnya datang tanpa diundang. Tetapi siapa lah mereka! Bukan kamu! Bukan penghalang harapan di hari-hari depan.

Tak usah malu menunjukkan emosi yang ada di dalam dirimu. Mereka yang tidak pandai mendengarkan, mungkin adalah sekumpulan daging yang depresi dengan diri mereka sendiri.


Tak ada yang hilang dari dirimu, apabila memutuskan untuk sebentar bersedih dan lebih banyak berbahagia atau sebaliknya. Kamu tak akan kehilangan siapa. Kamu bisa berbincang dengan benda mati sekalipun. Kamu penguasa dirimu. Kamu hanya harus lekas menggerakkan langkah. 



Salah satu fav ku di Pustakalana Booksclub, Kak Ozu. Perjuangan studi kakak satu ini sungguh, sangat menginspirasi. 



; dan 

Tempat yang Terlupakan




Benarkah selalu ada yang istimewa di angka pertama? Seperti, mengunjungi satu tempat untuk pertama kali, makan makanan yang belum pernah dicoba sebelumnya, berada di fase kehidupan tertentu, dan semua hal yang dirasa baru kita rasakan untuk pertama kali. 

Atau jangan-jangan kita belum pernah menikmati apa itu pengalaman pertama. Melewatinnya begitu saja karena abai dengan hal yang dirasa atau kita anggap biasa. Sampai satu hari di pertengahan bulan Mei, aku memutuskan rutin mengabadikan momen 'pertama'. Ups, kebanyakan sih makanan (emang dasarnya doyan makan). 

Lumpia Nyonya Liem 

Lokmie depan Masjid Istiqomah 

Pantai Gesing, Gunung Kidul Jogja


Kereta antar kota (Cimekar - Bandung) 

Vietnamese Rice Paper Rolls pertama yang dibuat sendiri 


Tempat makan padang di Bandung yang gak akan pernah lagi aku kunjungi



        Cimori Semarang


Wonjo Korean Restaurant di Bandung 


Good Karma di Yogyakarta

Jangan berharap gambar yang terambil sebagus hasil fotografer, ya. Momen di atas cenderung apa adanya tapi menangkap momen pertama kali itu bisa dibilang sedikit mudah jika disandingkan untuk mengingat rasanya.

Ya, rasa.

Butuh untuk kembali melihat bagaimana semua momen terbentuk di dalam tubuh kita sehingga bisa menghasilkan rasa. Seringkali rasa tidak mampu lagi dicerna oleh ingatan itu sendiri, lepas karena ingatan yang menua atau memang memilih untuk dilepaskan.

Butuh contoh?

** Makan mie kocok di pinggir jalan untuk pertama kali. Ok, kamera siap dan foto dengan beragam posisi sudah ada di galeri. Lalu kalian pulang ke rumah, setelahnya? Melanjutkan aktivitas berikutnya?

Jika diminta mendeskripsikan, masih ingat gak bagaimana rasa mie kocok itu? Bagaimana rasanya makan di pinggir jalan untuk pertama kali? 

Mungkin akan ada yang mendeskripsikan rasanya terlalu asin, tempatnya kurang bersih, sampah ada dimana-mana, pedagangnya ramah, dan harga gak sesuai dengan rasanya. Akan ada juga yang bisa mendeskripsikan lebih dari itu atau sebaliknya sama sekali malas memberi penjelasan atau tiga bulan setelahnya lupa bagaimana pengalaman itu terjadi. **

Nyatanya momen-momen di atas gak lantas membuat rasa itu bisa diingat semudah ketika mengambil gambar. Betapa aku sebagai pribadi sangat lemah menangkap dan mengingat sebuah rasa untuk pertama kali. Namun dari keputusan mengabadikan momen ini pun membuka mataku bahwa gak semua momen bisa dan atau harus ditangkap oleh kamera. Sehingga diantara kita ada yang lebih memilih mengabadikannya dalam tulisan, gambar, dan hal unik lainnya. Dan aku masih tetap percaya, bahwa selama proses itu pula akan tetap banyak hal yang tidak bisa diungkapkan.

Semua hal setara berharga, jadi sayang sekali jika sebuah rasa tidak mampu kita ingat lagi 'kan? Pun benar adanya, tak ada yang tak suka dinilai berharga termasuk 'hal pertama'. Eh, lucunya kita (aku lebih seringnya) malah sering abai dan menganggapnya biasa saja. Biasanya nih, sampai pengalaman pertama itu menghilang atau gak bisa lagi kita temukan. Baru deh, sadar.

Untuk itu, keputusan mengabadikan momen ini terasa luar biasa! Aku hanya berharap agar tidak mudah lupa pada momen yang sengaja aku buat, kepada waktu yang orang kasih, kepada kebaikan dan keburukan. Hmm .. jadi gak sabar nih, menikmati pengalaman-pengalaman pertama apa lagi yang akan menjemputku di depan sana. 

: dan