Berhenti mempertanyakan hal di luar diri kita itu, sulit-sulit mudah.
Saya akui akhir-akhir ini ada kesengajaan yang memaksa diri untuk tidak terlalu
mengekspos kehidupan di media sosial. Ya, cenderung mengurangi meski saya akui
sifat narsis sering kali muncul begitu endorfin menguasai diri. Paling lama
durasi bermedia sosial saya itu mentok di upload story, scroll ala kadarnya,
lalu memilih buru-buru keluar secepatnya. Kenapa bisa? Ada beberapa
pertimbangan yang cukup kuat, begini:
Pertama, entah mulai dari kapan saya tidak begitu selera melihat media
sosial pribadi karena hampir setengah waktu dari 24 jam yang saya punya itu di
kehidupan media sosial. Hidup saya kan gak hanya di situ doang ya, saya pun
butuh ruang tanpa media sosial. Kedua, saya ingin lebih menikmati momen
kebersamaan saya dengan orang sekitar. Memang gak bisa dipungkiri, gawai super
canggih mampu mempermudah penyimpanan momen tapi kok rasanya fungsi otak saya
jadi makin melemah ya dalam hal ingat mengingat. Saya harus belajar bahwa meski
setiap lini masa punya karakter pengguna yang berbeda namun menerima orang di
dunia nyata dengan segala negatif positif nya jauh lebih menyenangkan. Saya
jadi bisa menikmati momen ketidaksetujuan dan keberpihakan secara langsung.
Ketiga, saya gak menemukan kebahagiaan hakiki ketika dihadapkan dengan
media sosial yang saya miliki. Setiap apa yang saya tampilkan, pastilah punya
porsi membentuk sudut pandang yang gak bisa saya kendalikan keliarannya. Maksud
begini eh ditanggapinya begitu, ups! Ketika saya tampilkan sesuatu pasti ada
segelintir orang yang merasa terdistraksi. Sehingga konyol sih rasanya jika apa
pun yang saya tampilkan di media sosial akan diterima begitu saja. Saya rasa
pengakuan terbesar itu adalah lingkungan sekitar bukan di alter ego.
Terus maksud dari kebahagiaan hakiki tuh gimana sih? Begini, kebahagiaan
hakiki bagi saya sendiri adalah dimana saya bisa damai untuk melakukan satu
obrolan dari hati ke hati. Semua orang berharga, semua percakapan itu bermakna,
semua penting untuk mendapat perhatian yang sama, tetapi semua ada porsinya di
media sosial. Rasanya saya lebih suka mengobrol langsung, saya jadi sok tahu
bagaimana mereka bergembira, melihat mata mereka, dan mendengar lebih dekat. Saya
rasa personal itu lebih membahagiakan. Saya jadi tidak perlu menghakimi siapa
pun hanya dari tampilan alter ego yang orang tunjukkan. Nah, menganggap media
sosial sebagai tempat menemukan kebahagiaan aja adalah sebuah kebodohan tet!
Bisa aja sih saya memilih untuk santai dan tidak menjelaskan sepanjang yang
saya bisa tetapi berarti saya gak peduli dengan kegelisahan saya sendiri.
Selanjutnya saya merasa media sosial itu mengurangi kadar romantisme
seseorang. Tolong ya, jangan ada sekat pikiran di antara kita. Romantis itu gak
hanya berlaku buat kekasih, orang tua, teman, romantis itu bisa dilakukan ke
semua orang. Bagaimana cara kita memperlakukan teman, menghargai pendapat
pasangan, bahkan berkata kasar kepada sahabat pun merupakan sebuah momen
romantis. Kapan lagi kalo bukan saat bersama, saat itu, saat ini.
Kelima, saya jadi kurang mencintai diri saya sendiri. Lah, kok bisa?
Yaiya bisa! Waktu dimana saya bisa baca buku atau ngelakuin bisnis, eh! malah
saya habiskan dengan menjelajahi lini masa. Lihat ini dan itu. Eh, tahu-tahu
gak kerasa udah 3 jam nongkrong di depan media sosial. Kan asem!
Alasan terakhir ialah karena saya sedang menghindar dari seseorang atau
bahkan beberapa orang. Menghindar itu bukan jalan keluar. Saya sangat setuju.
Saya hanya gak ingin berbohong sama diri sendiri, kalo ternyata saya pun butuh
spasi. Gak enak lho melarikan diri, jangan ditiru! Tetapi jika dengan
melarikkan diri saya bisa menerima kenyataan bahwa saya tidak perlu banyak
bersusah payah menjelaskan apa yang terjadi dengan diri saya atau apa yang saya
harapkan, hmm.. saya rasa saya sudah menghargai diri saya.
Beberapa teman berpendapat, saya ini terlalu baik, punya toleransi tinggi,
dan hal-hal menarik yang teman-teman lain ungkapkan. Namun saya rasa malu
mengakui semua itu ketika dihadapkan pada kondisi dimana saya memang bukan
orang baik. Banyak sekali cacat yang saya miliki dan rasanya memang harus cepat
memperbaiki diri. Terkadang rasa sakit hati tetiba timbul, gak damai, sampai
beberapa kali bangun dalam keadaan gelisah. Beberapa hari kemarin, saya
bercermin.. yang terjadi adalah GILAK! Batin saya rasanya super lelah untuk
tidak sayang sama diri sendiri, untuk menetapkan harapan saya kepada beberapa
orang, untuk berhasil mengalahkan ego
sendiri agar mencoba damai namun kemudian saya merasa ditendang. Saat itu saya
hanya butuh pelukan dari siapa pun yang menganggap saya sebagai manusia. Lalu
manusia yang memeluk tubuh saya mengatakan bahwa, “Kamu akan baik-baik saja.
Gpp, kamu memang perlu spasi. Asal jangan lama-lama. Mengurangi kadar cinta
dalam diri itu kurang asik.”
Lalu? Saya hanya mampu memeluk diri sendiri lagi. Mendewasakan diri
lagi. Lagi dan memang akan selalu ada kata lagi.
Sedihnya, rasa tidak nyaman itu tumbuh jadi sakit hati, saya seperti
kehilangan diri sendiri untuk beberapa saat. Saya butuh spasi dengan sebuah
pertanyaan, benarkah saya sudah cukup mencintai diri sendiri? Meski ada sakit
di hati, saya gak mau kehilangan saya yang damai, diri saya yang punya kasih
sayang, diri saya yang bisa diajak negosiasi dan toleransi. Diri saya yang
teman-teman rasakan. Yang paling saya takutkan ialah saya lupa tidak menghargai
diri saya sendiri. Maka dari itu, perlu saya pertegas lagi, saya butuh spasi. Saya
gak bisa memastikan sampai kapannya. Apakah banyak yang akan terluka saat saya
mempertegas situasi ini? Pasti! Tetapi ingatlah pada poin-poin sebelumnya kalo
saya hanya lebih bersyukur untuk komunikasi secara langsung.
Sepertinya poin terakhir adalah alasan dengan penjelasan terpanjang, ya.
Silakan salah paham, bagaimana pun saya akan selalu jadi diri saya sesuai
dengan kaca mata penilaian kamu. Mau ngomong sampai berbusa kalo kamu hanya
punya satu kaca mata, ya.. apa daya. Ish! Saya rasa apa yang ada di luar diri
saya tidak patut diperdebatkan di tulisan ini.
Saya harap dengan mengurangi kadar bermain media sosial, saya mampu
berhenti mempertanyakan hal-hal yang ada di luar kendali saya. Lebih menerima
apa yang tidak bisa dipaksakan. Kemudian saya mampu memantaskan lagi, diri saya
untuk memasuki fase-fase kehidupan lainnya. Saya ingin melihat apa yang akan
saya dapatkan dari semua ini. Jujur saya penasaran hal-hal menarik apa yang
akan terjadi jika saya konsisten dengan mengurangi intensitas bermedia sosial.
Begitulah kawan-kawan, perdebatan saya dengan diri sendiri soal dunia
media sosial yang mungkin sedang kalian rasakan juga. Sebenarnya banyak kok
manfaat yang dibawa media sosial, percayalah. Kamu hanya perlu membuat akun
palsu dan mengikuti akun inspirasimu untuk meningkatkan produktifitas (eh).
Doakan saya ya semoga selalu baik-baik saja. Doaku pun menyertai kalian.
; dan