Di(h)ngin


Satu pagi bau tahi kambing dan sapi menusuk lubang hidung, saya genggam tangan Ibu setelah kami selesai menjalankan sholat. Tetapi ia menolaknya, justru tangannya lebih memilih untuk merapikan baju. Saya sempat berpikir beberapa detik, ini beneran ditolak atau hanya memang situasinya tidak memungkinkan. Setelah ia percaya diri dengan penampilannya, bergegas lah kaki ia langkahkan namun tangan saya tetap tidak ia pegang. Berarti benar, tadi bukan sekadar perasaan!

Tidak membutuhkan waktu yang lama, saya langsung bertanya mengapa tadi menolak untuk dipegang. Jawaban Ibu saya terbata-bata, cenderung gak jelas, ia cenderung melempar topik lain. Dengan agak kecewa saya bilang, “Bu, jangan dingin dong.”

Kemudian kami pun bergandeng tangan dan larut dalam pembicaraan tetapi saya terjebak di dalam pikiran sendiri.

DINGIN .....

Apa saya juga seperti itu, ya? Dingin ...

Karena saklar defensif itu gak berguna, saya akui.. sisi dingin itu ternyata mendarah daging di diri saya. Sering kali saya atau mungkin kamu tidak ingin disamakan dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki orang tua, namun semakin menolak kok rasanya makin kentara. Untuk beberapa momen, sikap dingin merupakan sebuah pertahanan diri atau justru berperan sebagai bumerang. Gak jarang, saya sulit mengekspresikan tanggapan saya mengenai sesuatu hal.

Sebab diperlakukan dingin itu gak enak. Pokoknya saya berjanji sama diri sendiri, saya gak mau bersikap dingin. Saya pasti bisa mengurangi kadar dingin di diri saya...

Saya gak mau dingin tapi dimana perapian ya? Jiwa-jiwa yang hangat? Di dalam diri sendiri? Mengapa masih pakai kata tetapi? 

; dan 

Tumbuh dan Mekar





Diberi berbagai kesempatan dan pengalaman tak terduga itu amat menyenangkan! Beberapa hari lalu saya dapat kesempatan workshop menulis, sebernya sih ‘Songwriting Workshop’ namun kapan lagi bisa mengambil kesempatan langka, gratis, dan terbatas ini. Memang workshop ini tak berkaitan erat dengan bidang penulisan puisi yang saya tekuni tapi rasanya saya harus dapat inspirasi baru. Karena mendapat inspirasi kan gak harus melulu dari membaca buku atau buku puisi, saya harus banyak belajar dari lintas seni maupun kaca mata berbeda. Bonusnya ya kamu bisa ngobrol seru sama Rara Sekar, Sandra, dan Danilla. Eh, Mba Danilla buru-buru pulang karena jadwal doi yang padat jadi aja ... gak bisa foto bareng kembaran (?).

Bonus tambahannya lagi sih, ini yang penting! Saya dapat teman-teman baru, ya emang dasar introvert sosial, ya. Meski pun kikuk di lingkungan baru tapi rasanya dapat teman baru itu, waw! Anehnya, ini orang-orang kok seperti teman lama yang baru ketemu lagi. Kita bisa ngobrol banyak hal, mulai dari pekerjaan sampai keinginan untuk bercengkrama kembali. Semoga kalian selalu diberi kekuatan dan kebahagiaan sama Tuhan.

tebak aku yang mana? hehehe

Daramuda 

Teman baru rasa teman lama, yang satu ibu rumah tangga (Cima) dan satu lagi anak ahensi yang lagi megang content writer hampir 30 brand (Senja). 

Singkat cerita di acara daramuda x samsungid, saya baru bisa tidur jam 02.00 WIB. Hmm! Jadwal tidur cepat saya di bawah jam 22.00 WIB kacau lagi deh. Secara fisik sih badan ini udah remuk dan ingin bergegas istirahat, tapi emang ajaib ketika otak masih bisa jalan ya ... boro-boro bisa tidur, yang ada nulis sampai menjelang pagi. Ok, berarti saya hanya punya waktu kurang dari 5 jam istirahat untuk ber-volunteer di salah satu kegiatan ruang terbuka menyambut Hari Kemerdekaan RI dari Pustakalana.

Emang dasar bahagia tuh bisa datang dari hal-hal kecil, sedari pagi ikut upacara hari kemerdekaan aja bikin senang seharian. Ya gimana gak, kapan terakhir saya upacara aja udah gak ingat rasanya! Kebetulan untuk acara kemerdekaan ini saya diminta jadi pendamping anak-anak. Gemas sekali ‘kan mereka?
Baru merasakan lagi upacara Hari Kemerdekaan RI


Serius amat nih dedek-dedek

Cie, musikalisasi puisi (foto milik Pustakalana)

Pustakalana Booksclub yang ke dua kalinya (foto milik Pustakalana)

Berakhirlah tugasku sebagai volunteer untuk Pustakalana di Hari Kemerdekaan RI (foto milik Pustakalana)


Belum selesai nih ceritanya..

Saya jadi volunteer itu kira-kira sampai pukul 17.30 WIB – an nih ya, udah gitu ada rapat sama geng Matahari buat ngomongin konsep mengajar selanjutnya di panti asuhan. Hehehehe “Kaga cape, tet?”
Actually yes but this my responsibilty to my own choice. Ok, terdengar rada berlebihan tapi saya masih kuat nampung semua di pundak. Meski saya mengiyakan ini mulut gatel ngomong ‘lelah/cape/bla bla bla’ .. beneran deh, kata itu udah lama hilang di hidup saya. Freelance desain, konsep, tulisan, saya ambil! (ada juga sih yang disampingkan kemudian merasa bersalah sama diri sendiri). Kegiatan di luar mendapat uang, seperti dua contoh di atas pun saya nikmati kesah dan senangnya. Projek menulis atau kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan diri pun saya ikhlaskan lelah-lelah itu.

Saya yakin masih banyak orang yang dua kali lipat lebih produktif daripada saya atau bahkan ada pula sebaliknya. Jadi saya rasa emang udah gak boleh tuh ada ‘lelah dan bla bla’ yang harus terucap (kurang-kurangin ya, tet) lagi pula udah semacam kebal cenderung baal. Mari sering-sering keluar dari zona aman untuk bisa tumbuh dan mekar! :)


; dan



Media Spasi Sosial


Berhenti mempertanyakan hal di luar diri kita itu, sulit-sulit mudah. Saya akui akhir-akhir ini ada kesengajaan yang memaksa diri untuk tidak terlalu mengekspos kehidupan di media sosial. Ya, cenderung mengurangi meski saya akui sifat narsis sering kali muncul begitu endorfin menguasai diri. Paling lama durasi bermedia sosial saya itu mentok di upload story, scroll ala kadarnya, lalu memilih buru-buru keluar secepatnya. Kenapa bisa? Ada beberapa pertimbangan yang cukup kuat, begini:

Pertama, entah mulai dari kapan saya tidak begitu selera melihat media sosial pribadi karena hampir setengah waktu dari 24 jam yang saya punya itu di kehidupan media sosial. Hidup saya kan gak hanya di situ doang ya, saya pun butuh ruang tanpa media sosial. Kedua, saya ingin lebih menikmati momen kebersamaan saya dengan orang sekitar. Memang gak bisa dipungkiri, gawai super canggih mampu mempermudah penyimpanan momen tapi kok rasanya fungsi otak saya jadi makin melemah ya dalam hal ingat mengingat. Saya harus belajar bahwa meski setiap lini masa punya karakter pengguna yang berbeda namun menerima orang di dunia nyata dengan segala negatif positif nya jauh lebih menyenangkan. Saya jadi bisa menikmati momen ketidaksetujuan dan keberpihakan secara langsung.

Ketiga, saya gak menemukan kebahagiaan hakiki ketika dihadapkan dengan media sosial yang saya miliki. Setiap apa yang saya tampilkan, pastilah punya porsi membentuk sudut pandang yang gak bisa saya kendalikan keliarannya. Maksud begini eh ditanggapinya begitu, ups! Ketika saya tampilkan sesuatu pasti ada segelintir orang yang merasa terdistraksi. Sehingga konyol sih rasanya jika apa pun yang saya tampilkan di media sosial akan diterima begitu saja. Saya rasa pengakuan terbesar itu adalah lingkungan sekitar bukan di alter ego.

Terus maksud dari kebahagiaan hakiki tuh gimana sih? Begini, kebahagiaan hakiki bagi saya sendiri adalah dimana saya bisa damai untuk melakukan satu obrolan dari hati ke hati. Semua orang berharga, semua percakapan itu bermakna, semua penting untuk mendapat perhatian yang sama, tetapi semua ada porsinya di media sosial. Rasanya saya lebih suka mengobrol langsung, saya jadi sok tahu bagaimana mereka bergembira, melihat mata mereka, dan mendengar lebih dekat. Saya rasa personal itu lebih membahagiakan. Saya jadi tidak perlu menghakimi siapa pun hanya dari tampilan alter ego yang orang tunjukkan. Nah, menganggap media sosial sebagai tempat menemukan kebahagiaan aja adalah sebuah kebodohan tet! Bisa aja sih saya memilih untuk santai dan tidak menjelaskan sepanjang yang saya bisa tetapi berarti saya gak peduli dengan kegelisahan saya sendiri.

Selanjutnya saya merasa media sosial itu mengurangi kadar romantisme seseorang. Tolong ya, jangan ada sekat pikiran di antara kita. Romantis itu gak hanya berlaku buat kekasih, orang tua, teman, romantis itu bisa dilakukan ke semua orang. Bagaimana cara kita memperlakukan teman, menghargai pendapat pasangan, bahkan berkata kasar kepada sahabat pun merupakan sebuah momen romantis. Kapan lagi kalo bukan saat bersama, saat itu, saat ini. 


Kelima, saya jadi kurang mencintai diri saya sendiri. Lah, kok bisa? Yaiya bisa! Waktu dimana saya bisa baca buku atau ngelakuin bisnis, eh! malah saya habiskan dengan menjelajahi lini masa. Lihat ini dan itu. Eh, tahu-tahu gak kerasa udah 3 jam nongkrong di depan media sosial. Kan asem!

Alasan terakhir ialah karena saya sedang menghindar dari seseorang atau bahkan beberapa orang. Menghindar itu bukan jalan keluar. Saya sangat setuju. Saya hanya gak ingin berbohong sama diri sendiri, kalo ternyata saya pun butuh spasi. Gak enak lho melarikan diri, jangan ditiru! Tetapi jika dengan melarikkan diri saya bisa menerima kenyataan bahwa saya tidak perlu banyak bersusah payah menjelaskan apa yang terjadi dengan diri saya atau apa yang saya harapkan, hmm.. saya rasa saya sudah menghargai diri saya.

Beberapa teman berpendapat, saya ini terlalu baik, punya toleransi tinggi, dan hal-hal menarik yang teman-teman lain ungkapkan. Namun saya rasa malu mengakui semua itu ketika dihadapkan pada kondisi dimana saya memang bukan orang baik. Banyak sekali cacat yang saya miliki dan rasanya memang harus cepat memperbaiki diri. Terkadang rasa sakit hati tetiba timbul, gak damai, sampai beberapa kali bangun dalam keadaan gelisah. Beberapa hari kemarin, saya bercermin.. yang terjadi adalah GILAK! Batin saya rasanya super lelah untuk tidak sayang sama diri sendiri, untuk menetapkan harapan saya kepada beberapa orang, untuk  berhasil mengalahkan ego sendiri agar mencoba damai namun kemudian saya merasa ditendang. Saat itu saya hanya butuh pelukan dari siapa pun yang menganggap saya sebagai manusia. Lalu manusia yang memeluk tubuh saya mengatakan bahwa, “Kamu akan baik-baik saja. Gpp, kamu memang perlu spasi. Asal jangan lama-lama. Mengurangi kadar cinta dalam diri itu kurang asik.”

Lalu? Saya hanya mampu memeluk diri sendiri lagi. Mendewasakan diri lagi. Lagi dan memang akan selalu ada kata lagi.

Sedihnya, rasa tidak nyaman itu tumbuh jadi sakit hati, saya seperti kehilangan diri sendiri untuk beberapa saat. Saya butuh spasi dengan sebuah pertanyaan, benarkah saya sudah cukup mencintai diri sendiri? Meski ada sakit di hati, saya gak mau kehilangan saya yang damai, diri saya yang punya kasih sayang, diri saya yang bisa diajak negosiasi dan toleransi. Diri saya yang teman-teman rasakan. Yang paling saya takutkan ialah saya lupa tidak menghargai diri saya sendiri. Maka dari itu, perlu saya pertegas lagi, saya butuh spasi. Saya gak bisa memastikan sampai kapannya. Apakah banyak yang akan terluka saat saya mempertegas situasi ini? Pasti! Tetapi ingatlah pada poin-poin sebelumnya kalo saya hanya lebih bersyukur untuk komunikasi secara langsung.

Sepertinya poin terakhir adalah alasan dengan penjelasan terpanjang, ya. Silakan salah paham, bagaimana pun saya akan selalu jadi diri saya sesuai dengan kaca mata penilaian kamu. Mau ngomong sampai berbusa kalo kamu hanya punya satu kaca mata, ya.. apa daya. Ish! Saya rasa apa yang ada di luar diri saya tidak patut diperdebatkan di tulisan ini.

Saya harap dengan mengurangi kadar bermain media sosial, saya mampu berhenti mempertanyakan hal-hal yang ada di luar kendali saya. Lebih menerima apa yang tidak bisa dipaksakan. Kemudian saya mampu memantaskan lagi, diri saya untuk memasuki fase-fase kehidupan lainnya. Saya ingin melihat apa yang akan saya dapatkan dari semua ini. Jujur saya penasaran hal-hal menarik apa yang akan terjadi jika saya konsisten dengan mengurangi intensitas bermedia sosial.

Begitulah kawan-kawan, perdebatan saya dengan diri sendiri soal dunia media sosial yang mungkin sedang kalian rasakan juga. Sebenarnya banyak kok manfaat yang dibawa media sosial, percayalah. Kamu hanya perlu membuat akun palsu dan mengikuti akun inspirasimu untuk meningkatkan produktifitas (eh). Doakan saya ya semoga selalu baik-baik saja. Doaku pun menyertai kalian. ­­­

; dan