Di(h)ngin

Di(h)ngin


Satu pagi bau tahi kambing dan sapi menusuk lubang hidung, saya genggam tangan Ibu setelah kami selesai menjalankan sholat. Tetapi ia menolaknya, justru tangannya lebih memilih untuk merapikan baju. Saya sempat berpikir beberapa detik, ini beneran ditolak atau hanya memang situasinya tidak memungkinkan. Setelah ia percaya diri dengan penampilannya, bergegas lah kaki ia langkahkan namun tangan saya tetap tidak ia pegang. Berarti benar, tadi bukan sekadar perasaan!

Tidak membutuhkan waktu yang lama, saya langsung bertanya mengapa tadi menolak untuk dipegang. Jawaban Ibu saya terbata-bata, cenderung gak jelas, ia cenderung melempar topik lain. Dengan agak kecewa saya bilang, “Bu, jangan dingin dong.”

Kemudian kami pun bergandeng tangan dan larut dalam pembicaraan tetapi saya terjebak di dalam pikiran sendiri.

DINGIN .....

Apa saya juga seperti itu, ya? Dingin ...

Karena saklar defensif itu gak berguna, saya akui.. sisi dingin itu ternyata mendarah daging di diri saya. Sering kali saya atau mungkin kamu tidak ingin disamakan dengan sifat-sifat tertentu yang dimiliki orang tua, namun semakin menolak kok rasanya makin kentara. Untuk beberapa momen, sikap dingin merupakan sebuah pertahanan diri atau justru berperan sebagai bumerang. Gak jarang, saya sulit mengekspresikan tanggapan saya mengenai sesuatu hal.

Sebab diperlakukan dingin itu gak enak. Pokoknya saya berjanji sama diri sendiri, saya gak mau bersikap dingin. Saya pasti bisa mengurangi kadar dingin di diri saya...

Saya gak mau dingin tapi dimana perapian ya? Jiwa-jiwa yang hangat? Di dalam diri sendiri? Mengapa masih pakai kata tetapi? 

; dan 

0 comments :

Post a Comment